Pengertian Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Emosional
Emosi berasal dari perkataan emotus atau emovere, yang artinya mencerca “to strip up”, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, emosi dapat diartikan sebagai: 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut diwaktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subyektif.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
W. James dan Carl Lange (Efendi dan Praja, 1985:82) mengatakan, bahwa emosi ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem vasomater “otak-otak” atau perubahan jasmaniah individu. Misalnya, individu merasa senang, karena ia tertawa bukan tertawa karena senang, dan sedih karena menangis. Menurut Harvey Carr, bahwa emosi adalah penyesuaian organis yang timbul secara otomatis pada manusia dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Misalnya, emosi marah timbul jika organisme dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan daya dikerahkan untuk mengatasi rintangan itu dengan diiringi oleh gejala-gejala seperti denyut jantung yang meninggi, pernafasan semakin cepat, dan sebagainya.
============================================
============================================
Sedangkan menurut W.B. Cannon, bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi emergency “darurat”. Teori emergency, didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sacral daripada susunan syaraf otonom. Jadi, apabila saraf-saraf simpatis aktif, maka saraf otonom non aktif, dan demikian sebaliknya.
Dari ungkapan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif, adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu, misalnya gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), iri, cemburu, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari psikologi analisa, maka emosi dapat dijelaskan secara berbeda-beda, karena ada dua hal yang mendasari pengertian emosi menurut psikologi analisa, yaitu:
a. Naluri kelamin “sexual instinct”, yang oleh Freud disebut juga “libido”, yaitu merupakan motif utama dan fundamental yang menjadi tenaga pendorong pada bayi-bayi baru lahir.
b. Naluri terdapat pada ego, ini adalah lawan dari libido, yang menganut prinsip kenyataan, karena mengawasi dan menguasai libido dalam batas-batas yang dapat diterima oleh lingkungan. Di lain pihak ego juga berusaha merumuskan libidonya, prinsip ini terdapat pada orang-orang yang sudah lebih dewasa.
Dalam rangka inilah, Freud mengembangkan doktrinnya mengenai emosi, yang kemudian dibatasinya hanya pada kecemasan “anxiety”, sebagai salah satu bentuk emosi yang sangat penting dalam teori psikoanalisa. Anxiety timbul karena pertentangan antara kedua prinsip tadi, yaitu prinsip kesenangan “libido” dan prinsip kenyataan. Dan macam-macam anxiety, adalah sebagai berikut:
a. Obyektive anxiety. Ini timbul karena akibat lemahnya ego terhadap ide, karena sejak lahir seorang individu telah dihadapkan kepada keadaan obyektif yang bersifat menekan. Obyektive anxiety yang primer adalah trauma kelahiran, yang merupakan dasar bagi timbulnya obyektive anxiety lainnya (skunder dan seterusnya).
b. Neurotic anxiety. Ini timbul dari obyektive anxiety, khususnya timbul karena perasaan takut terhadap akibat yang mungkin timbul bilamana tuntutan libido dipenuhi, terlebih lagi kalau akibat itu punya arti sosial. Neurotic anxiety, mempunyai dua bentuk, yaitu:
1) Free-floating anxiety, yaitu suatu keadaan cemas di mana individu selalu menantikan sesuatu yang paling buruk yang mungkin terjadi, akibatnya ia akan selalu berada dalam keadaan cemas takut menghadapi akibat yang buruk dalam situasi yang tidak menentu.
2) Phobia, di sini obyek yang ditakuti jelas, hanya alasan-alasannya mengapa individu takut tidak jelas.
c. Moral anxiety. Kecemasan ini timbul dari akibat lemahnya ego terhadap super ego. Super ego berkembang karena larangan-larangan dan pembatasan-pembatasan moril yang berasal dari orang tua dan lingkungan, dengan kata lain, sumber dari moral anxiety adalah obyek, yaitu takut kehilangan kasih sayang, dukungan, good-will dari orang tua maupun orang lain dalam masyarakat. Juga moral anxiety, timbul karena perasaan takut mendapat hukuman dari orang tua atau masyarakat.
CT. Morgan, bahwa terdapat beberapa aspek-aspek emosi, yaitu bahwa:
a. Emosi adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan kondisi tubuh, misalnya denyut jantung, sirkulasi darah, dan pernafasan.
b. Emosi adalah sesuatu yang dilakukan atau diekspresikan, misalnya tertawa, tersenyum, menangis.
c. Emosi adalah sesuatu yang dirasakan, misalnya merasa jengkel, kecewa, senang.
d. Emosi juga merupakan suatu motif, sebab ia mendorong individu untuk berbuat sesuatu, kalau individu itu beremosi, senang, atau mencegah melakukan sesuatu kalau ia tidak senang.
Oleh karena itu, apabila seseorang sudah dapat memanage, mengawasi, mengontrol, dan mengatur emosinya dengan tepat, baik ketika orang tersebut berhadapan dengan pribadinya, berhadapan dengan orang lain, orang tua, teman-teman, atau masyarakat, berhadapan dengan pekerjaan, atau masalah-masalah yang muncul, maka orang tersebut sudah dapat dikatakan mempunyai kecerdasan emosional. Karena kecerdasan emosional adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Menurut Devies dan rekan-rekannya, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta perilaku seseorang. Adapun Eko Maulana Ali Suroso (2004:127) mengatakan, bahwa kecerdasan emosional adalah sebagai serangkaian kecakapan untuk memahami bahwa pengendalian emosi dapat melapangkan jalan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.
Kecerdasan emosi merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh seseorang dan sangat berguna untuk menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan empati pada perasaan orang lain. Orang yang cerdas emosinya, akan menampakkan kematangan dalam pribadinya serta kondisi emosionalnya dalam keadaan terkontrol. Kecerdasan emosional merupakan daya dorong yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi, dan mengaktifkan aspirasi nilai-nilai kita yang paling dalam “inner beauty”, mengubahnya dari apa yang dipikirkan menjadi apa yang kita jalani.
Jadi, kecerdasan emosional adalah gabungan dari semua emosional dan kemampuan sosial untuk menghadapi seluruh aspek kehidupan manusia. Kemampuan emosional meliputi, sadar akan kemampuan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan menyatakan perasaan orang lain, dan pandai menjalin hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini, merupakan kemampuan yang unik yang terdapat di dalam diri seseorang, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kemampuan psikologi seseorang. Dan apabila kemampuan untuk memahami dan mengendalikan emosi siswa dalam belajar sudah baik, maka hal itu akan menumbuhkan semangat, motivasi, dan minat untuk belajar pada diri siswa.
Menurut JB. Waston, bahwa pada dasarnya manusia mempunyai tiga emosi dasar, yaitu:
a) Fear “takut”, yang dalam perkembangan selanjutnya bisa menjadi anxiety “cemas”.
b) Rage “kemarahan”, yang akan berkembang antara lain menjadi anger “marah”.
c) Love “cinta”, yang akan berkembang menjadi simpati.
Sedangkan menurut R. Descartes sebagaimana dikutip oleh E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, bahwa emosi-emosi dasar yang terdapat pada manusia sebanyak enam macam, yaitu:
a) Desire “keinginan”
b) Hate “benci”
c) Wonder “kagum”
d) Sorrow “kesedihan”
e) Love “cinta”
f) Joy “kegembiraan”.
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis, mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a) Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
a) Bersifat tidak tetap (fluktuatif).
b) Banyak berkaitan dengan peristiwa pengenalan panca indera.
c) Berlansung singkat dan berakhir tiba-tiba.
d) Terlihat lebih kuat dan hebat.
e) Bersifat sementara dan dangkal.
f) Lebih sering terjadi.
g) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya.
Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa ciri-ciri utama dari pikiran-pikiran emosional, adalah sebagai berikut:
a) Respon yang cepat tetapi ceroboh.
b) Pertama adalah perasaan, kedua pemikiran.
c) Realitas simbolik yang seperti anak-anak.
d) Masa lampau yang diposisikan masa sekarang.
e) Realitas yang ditentukan oleh keadaan.
Kecerdasan Emosional |
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan kejiwaan (psikis), yaitu sebagai berikut:
1) Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2) Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, di antaranya adalah:
3) Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai hubungannya dengan ruang lingkup kebenaran.
4) Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungannya dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.
5) Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika.
6) Perasaan keindahan (estetika), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan atau kerohanian.
7) Perasaan ketuhanan, yaitu salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
Dalam menelaah kompetensi seseorang yang didasarkan pada tingkat kecerdasan emosional, maka dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi, yaitu:
1. Kesadaran diri sendiri
Kemampuan seseorang sangat tergantung kepada kesadaran dirinya sendiri, juga sangat tergantung kepada pengendalian emosionalnya. Apabila seseorang dapat mengendalikan emosinya dengan sebaik-baiknya, memanfaatkan mekanisme berpikir yang tersistem dan kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan mampu mengendalikan emosinya sendiri dan menilai kapasitas dirinya sendiri. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi, akan memahami betul tentang impian, tujuan, dan nilai yang melandasi perilaku hidupnya.
Apabila seseorang telah mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada dirinya kesadaran akan emosinya sendiri, penilaian terhadap dirinya secara akurat, dan percaya akan dirinya sendiri.
2. Pengelolaan diri sendiri
Seseorang, sebelum mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus terlebih dahulu mampu memimpin atau menguasai dirinya sendiri. Orang tersebut harus tahu tingkat emosional, keunggulan, dan kelemahan dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional tidak disadari, maka orang tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika emosinya. Manakala kebetulan resonansi yang dipancarkan dari amygdale-nya, maka gelombang positif yang dapat ditangkap oleh orang lain secara efektif, dan komunikasi pun dapat berjalan dengan baik. Tetapi manakala yang terpancar dari amygdale-nya disonansi, maka yang dapat ditangkap oleh orang lain hanyalah kemarahan dan emosional yang tak terkendali, akhirnya komunikasi tidak berjalan dengan baik.
Untuk menciptakan tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri, transparansi, penyesuaian diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan optimistis.
3. Kesadaran sosial
Sebagai makhluk sosial, kita harus dan selalu berhubungan dan bergesekan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, karena kita tidak akan dapat hidup sendiri tanpa orang lain.
Oleh karena itu, semua orang harus memiliki kesadaran sosial, dan apabila seseorang telah mempunyai kesadaran sosial, maka dalam dirinya akan muncul empati, kesadaran, dan pelayanan.
Manajemen hubungan sosial
Apabila seseorang telah memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan secara efektif emosionalnya, memanage dirinya sendiri, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu satu langkah lagi, yaitu bagaimana memanage hubungan sosial yang telah berhasil dibangun agar dapat bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal ini, yang disebut sebagai manajemen hubungan sosial. Jadi, manajemen hubungan sosial merupakan muara dari derajat kompetensi emosional dan intelegensi.
Dalam rangka memanage hubungan sosial tersebut, seseorang harus memiliki kemampuan sebagai inspirator, mempengaruhi orang lain, membangun kapasitas, katalisator perubahan, kemampuan memanage konflik, dan mendorong kerjasama yang baik dengan orang lain atau masyarakat.
Norman Rosenthal, MD, bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, menjelaskan cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional, yaitu
1) Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
2) Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum sampai puncak.
3) Lihat bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
4) Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
5) Dengarkan tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapatkan kekuatan nalar.
6) Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
7) Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
8) Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran dengan perasaan Anda.
9) Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam per minggu.
10) Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.
Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: Faktor internal, yakni faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional, dan Faktor Eksternal yakni faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: faktor psikologis, faktor pelatihan emosi dan faktor pendidikan
1) Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
2) Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
3) Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi
Pustaka
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
Agustian, A. G. 2007. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: ARGA Publishing
E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1985)
Eko Maulana Ali Suroso, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ, (Jakarta: Bars Media Komunikasi, 2004)
Nggermanto, A. 2002. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa.
Share This :
comment 0 comments
more_vert