Undang-undang tentang perbankan syariah terus mengalami perkembangan dari sejak berdirinya lembaga ini sampai sekarang. Berdasarkan hukum atau secara yuridis, eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia sebenarnya telah dimulai dengan keluarnya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas dalam menentukan suku bunga kredit, suku bunga tabungan dan deposito. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) menyangkut izin pendirian usaha bank baru.
Selanjutnya, secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang beroperasi penuh pada tahun 1992 sebagai satu- satunya bank saat itu yang secara murni menerapkan prinsip-prinsip syariah berupa prinsip bagi hasil dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ketika krisis berlangsung secara faktual, Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu bank yang sehat, disebabkan karena memiliki CAR (Capital Adequacy Ratio) pada kategori A (4% keatas) sehingga bank ini hanya diwajibkan untuk menyusun rencana bisnis.
Perbankan Syariah semakin berkembang setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang ini, Bank dibagi menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara eksplisit juga membolehkan bank untuk menjalankan operasional usahanya sesuai prinsip bagi hasil (Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m serta Pasal 13 huruf c). Hal tersebut kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yang beromor No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993. Dalam surat tersebut menegaskan 4 hal yakni:
Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini menunjukkan awal dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) yang sangat diharapkan akan mempercepat laju perkembangan Perbankan Syariah di negara kita. Dalam era ini, bagi Bank Umum Konvensional dapat memberikan pelayanan syariah melalui pembentukan UUS. Sementara untuk BPR hanya boleh memberikan pelayanan konvensional atau berdasarkan syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah kemudian disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 yang terdiri dari 13 bab serta 70 pasal. Secara garis besar, undang undang ini memberikan kepastian hukum bagi Bank Syariah di Indonesia, penyebutan istilah "syariah" menunjukkan identitas yang jelas untuk Bank Syariah dan bertanggung jawab secara syariah (shariah complience), Disamping itu menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan adanya dukungan bagi konversi serta adanya perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan bukan sebaliknya.
Demikian runutan perkembangan undang-undang tentang perbankan syariah di Indonesia. Untuk lebih jauh meningkatkan pengetahuan, dapat dibaca pula sejarah bank syariah di Indonesia di blog ini termasuk pengertian bank syariah dan fungsi bank syariah.
.
Selanjutnya, secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang beroperasi penuh pada tahun 1992 sebagai satu- satunya bank saat itu yang secara murni menerapkan prinsip-prinsip syariah berupa prinsip bagi hasil dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ketika krisis berlangsung secara faktual, Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu bank yang sehat, disebabkan karena memiliki CAR (Capital Adequacy Ratio) pada kategori A (4% keatas) sehingga bank ini hanya diwajibkan untuk menyusun rencana bisnis.
Perbankan Syariah semakin berkembang setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang ini, Bank dibagi menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara eksplisit juga membolehkan bank untuk menjalankan operasional usahanya sesuai prinsip bagi hasil (Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m serta Pasal 13 huruf c). Hal tersebut kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yang beromor No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993. Dalam surat tersebut menegaskan 4 hal yakni:
- Bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata sesuai prinsip bagi hasil.
- Prinsip bagi hasil yang dimaksud yakni prinsip bagi hasil berdasarkan syariah.
- Bank berdasarkan prinsip bagi hasil diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
- Bank Umum maupun BPR yang kegiatan operasional usahanya hanya berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak sesuai prinsip bagi hasil.
Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini menunjukkan awal dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) yang sangat diharapkan akan mempercepat laju perkembangan Perbankan Syariah di negara kita. Dalam era ini, bagi Bank Umum Konvensional dapat memberikan pelayanan syariah melalui pembentukan UUS. Sementara untuk BPR hanya boleh memberikan pelayanan konvensional atau berdasarkan syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah kemudian disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 yang terdiri dari 13 bab serta 70 pasal. Secara garis besar, undang undang ini memberikan kepastian hukum bagi Bank Syariah di Indonesia, penyebutan istilah "syariah" menunjukkan identitas yang jelas untuk Bank Syariah dan bertanggung jawab secara syariah (shariah complience), Disamping itu menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan adanya dukungan bagi konversi serta adanya perubahan bank konvensional menjadi Bank Syariah dan bukan sebaliknya.
Demikian runutan perkembangan undang-undang tentang perbankan syariah di Indonesia. Untuk lebih jauh meningkatkan pengetahuan, dapat dibaca pula sejarah bank syariah di Indonesia di blog ini termasuk pengertian bank syariah dan fungsi bank syariah.
.
Share This :
comment 0 comments
more_vert