Di bawah ini adalah contoh makalah teori belajar dan pembelajaran dengan judul atau tema : “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Belajar dan Pembelajaran”. Sebagian dari tulisan ini disampaikan dalam Pelatihan Training of Trainers (TOT) dan Evaluasi Kemampuan Mengajar PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II, September 1998, dan disarikan dari buku Perguruan Tinggi Perkembangan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat, 1999 oleh Prof. Dr. Conny Semiawan.
I. PENDAHULUAN
Mengapa manusia belajar? Pertanyaan ini berkaitan dengan milenium ketiga yang telah berada di depan pinto. Era ini ditandai oleh berbagai perubahan cepat yang terjadi dan sering tidak diantisipasi sebelumnya. Era global menjadikan kita terekspos oleh berbagai kejadian dan tuntutan kondisi yang dipersyaratkan di masa yang akan datang. Secara arif perlu ada refleksi terhadap cara kita melengkapi diri dalam memenuhi tuntutan tersebut. Berbagai perubahan tersebut dikomuni melalui informasi dengan berbagai media, seperti komputer data base dan jaringan informasi canggih yang beraneka ragam. Semakin lama semakin canggih informasi yang harus disampaikan ke tangan pemakainya. Bila kita tidak mau terpelanting dalam era global tersebut, maka perlengkapan manusia hares disertai upaya belajar. Sementara itu, belajar merupakan kebutuhan hidup yang "self-generating" yang mengupayakan dirinya sendiri, karena sejak lahir manusia memiliki dorongan melangsungkan hidup, menuju tujuan tertentu, sadar atau tidak sadar (Adler: Leitlinie = garis hidup). Hal tersebut bukan saja karena ikhtiar untuk melangsungkan hidup bersumber dari dirinya, ibarat ada self-starter dalam dirinya, melainkan juga karena sebagai makhluk sosial ia harus mempertahankan hidup. Demikian dua dorongan esensial dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk tumbuh kembang dan dorongan untuk mempertahankan diri menjelaskan alasan manusia itu belajar. Jadi, manusia belajar terus menerus untuk mampu mencapai kemandirian dan sekaligus mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan.
II. BELAJAR: KONSEP DAN TEORINYA
Berbagai teori tentang belajar terkait dengan penekanan terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh potensi yang dibawa sejak lahir. Potensi itu biasanya merupakan kemungkinan kemampuan umum. seseorang secara genetis telah lahir dengan suatu organ yang disebut kemampuan umum (intelegensi) yang bersumber dari otak. Apabila struktur otak telah ditentukan secara biologis, berfungsinya otak tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C., 1997). Jadi, apabila lingkungan berpengaruh positif bagi dirinya, kemungkinan besar potensi tersebut berkembang mencapai realisasi optimal.
Otak yang dibawa sejak lahir tersebut terdiri atas dua belahan otak, kiri dan kanan (left hemisphere and right hemisphere), yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Kedua belahan otak tersebut mempunyai fungsi, tugas dan respon yang berbeda, dan seharusnya tumbuh dalam keseimbangan (Semiawan, C., 1997). Dalam upaya manusia belajar, belahan otak kanan berfungsi menangkap keseluruhan yang bermakna, kreatif dan imajinatif, sedangkan belahan otak kiri berfungsi untuk mengamati hal-hal yang logis, linier, dan teratur. Kedua belahan otak itu dalam pembelajaran sebaiknya berfungsi dalam keseimbangan. Jadi, konsep belajar mengandung implikasi memfungsikan aspek nalar, logis maupun kreatif (baca pula definisi belajar dalam pengertian belajar menurut para ahli). Berikut ini ada beberapa aliran yang berpengaruh di dunia ilmu dalam mengartikan belajar.
Belajar menurut Visi Behaviorisme
Behaviorisme adalah aliran psikologi yang percaya bahwa manusia terutama belajar karena pengaruh lingkungan. Belajar menurut teori behaviorisme yang agak radikal adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanisme. Oleh karena itu, lingkungan yang sistematis, teratur dan terencana dapat memberikan pengaruh (stimulus) yang baik sehingga manusia bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memberikan respon yang sesuai.
Ada dua tokoh terkenal dalam behaviorisme yang memelopori teori ini dan mempunyai perbedaan dalam menjelaskan proses terjadinya belajar. Pertama, adalah Pavlov yang berbicara tentang stimulus yang dipersyaratkan (conditioning reflex) untuk memberikan capons yang diharapkan oleh lingkungan sesuai dengan tuntutan lingkungan (refleks yang dikondisikan) selanjutnya disebut classical Conditioning. Kedua, adalah Skinner yang agak berbeda pendiriannya dengan Pavlov. Skinner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya. Kalau konsekuensinya menyenangkan, maka hal tersebut akan diulanginya lagi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut adalah kekuatan pengulang (reinforcement) untuk berbuat sekali lagi. Teori ini dikenal dengan sebutan operant conditioning. Belajar adalah akibat (konsekuensi, kekuatan pengulang) dari suatu perbuatan yang menghadirkan perbuatan tersebut kembali. Apabila perbuatan tersebut menyenangkan (contohnya seseorang yang lapar dan makan, merasa nikmat apabila kenyang), lain kali akan makan lagi bila lapar (positive reinforcement). Sebaliknya, apabila akibatnya tidak nikmat (contohnya apabila terlalu kenyang), maka tidak akan terdorong untuk dilakukan lagi (negative reinforcement).
Sekelumit tentang Belajar menurut Konstruktivisme
Berbeda dari pendapat behaviorisme adalah konstruktivisme yang merupakan salah Saw pandangan psikologi kognitif Konstruktivisme bertolak dari pendapat bahwa belajar adalah membangun (to construct) pengetahuan itu sendiri (Bootzin, 1996), setelah dipahami, dicernakan dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang (form within).
Dalam perbuatan belajar seperti itu bukan apa (isi) pembelajarannya yang penting, melainkan bagaimana mempergunakan peralatan mental kita untuk menguasai hal-hal yang kita pelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dari dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, pencernaan (digest), dan pemahamannya.
III. KONSEP BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar menurut Klien (Learning Principles and Application, 1993, halaman 2), adalah: Proses eksperiensial (pengalaman) yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen dan yang tidak dapat dijelaskan dengan keadaan sementara kedewasaan, atau tendensi alamiah.
Rumusan Klien yang agak behavioristik meskipun dipengaruhi oleh fenomenologi dan menunjuk pada experiential learning, perlu disela dengan orientasi konstruktivisme yang merupakan bagian dari psikologi belajar yang berorientasi humanistik. Artinya, memang belajar tidak terjadi karena proses kematangan dari dalam saja (innate tendencies, yang merupakan faktor genetis), melainkan juga karena pengalaman yang perolehannya bersifat eksistensial. Penulis menambahkan bahwa psikologi belajar yang berorientasi pada pendekatan humanistik dipengaruhi oleh adanya kebebasan individu yang dilandasi oleh potensi bakat dan minatnya untuk mengembangkan perilaku yang terarah atas tanggung jawab dan pilihannya sendiri.
Aktualisasi diri yang berawal dari tergeraknya potensi dari dalam (from within) adalah permulaan manusia belajar mencapai realisasi diri secara optimal. Untuk itu, ia belajar bagaimana ia harus belajar sepanjang hayat.
IV. BAGAIMANA KITA BELAJAR?
Bagaimana kita belajar, dapat ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro belajar terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Pengaruh negatif dapat datang dari luar dinding sekolah ditambah pula oleh orientasi pembelajaran yang ditandai oleh ciri alienatif karena keterasingan pebelajar dari proses belajar yang sesungguhnya. Hal ini terutama berkaitan dengan proses belajar yang bersifat satu arah, di mana guru mempertanggungjawabkan "body of material" secara sepihak. Si pelajar secara dominan bersifat pasifkarena guru mengalirkan sejumlah ilmu kepadanya, ibarat suatu bejana yang airnya dituangkan dari luar ke dalam dirinya.
Padahal psikologi kontemporer tentang belajar (konstruktivisme) mengisyaratkan bahwa belajar adalah mengonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Jadi, tidak memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala pebelajar, melainkan pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (two-sided experience, Buber, 1970). Ini berarti bahwa penekanan tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa mampu menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama oleh keterlibatan emosi dan kemampuan kreatif.
Coleman di dalam bukunya "Emotional Intelligence" (1995), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, pertama, berasal dari kepala (head) dengan ciri kognitif dan kedua, berasal diri hati sanubari (heart), dengan ciri afektif. Antara kehidupan kognitif dan kehidupan afektif ada hubungan yang erat. Di dalam struktur otak neuron sel otak yang menghubungkan dua kehidupan ini disebut extended amygdala.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan fingkungan yang mencakup ciri-ciri fisik, mental dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur dalam pendekatan sistemnya yang disebut analisis dua jalur two road analysis (front-end, muka belakang), yaitu mencakup tiga komponen, yaitu target group analysis (siapa peserta didik yang kita hadapi), content analysis (apa sasaran program kita), serta context analysis. Artinya, apa relevansi program itu (konteks) dan terkait dengan itu, kompetensi apa yang diperlukan pada ujung program tersebut (end). Untuk menjalani pekerjaan tertentu (job analysis), dapat diadakan dianalisis dari muka (front) ke belakang (end) dan dari belakang ke muka. Konten apa yang perlu diberikan untuk memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan pekerjaan (front) populasi sasaran tertentu. Jadi, analisis populasi sasaran, analisis konteks dan konten adalah kerangka dari analisis sistem tersebut. Dalam hal terakhir berkenaan dengan konten itulah perlu dijaga kurikulum (rancangan belajar) yang menjadi cakupan (area of interest) untuk dijaga koherensinya serta menyaring "banjir" informasi akibat globalisasi. Tentu saja pengembangan kurikulum seperti ini memerlukan sosialisasi, pelatihan (training) dan pengembangan, sehingga meningkatkan efektivitas penyelenggara pendidikan.
V. PENUTUP
Bagaimana kita belajar dapat ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Proses belajar diupayakan agar siswa mampu menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga keterlibatan emosional yang kreatif. Dengan demikian, proses belajar ini disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan siswa.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur yang dalam pendekatan sistemnya mencakup figa komponen, yaitu analisis konten (content analysis) yang dikaitkan dengan kepada siapa (analisis populasi sasaran atau target group anaysis) konten tersebut serta dalam konteks apa (analisis konteks, context analysis) pembelajaran dilakukan.
REFERENSI
I. PENDAHULUAN
Mengapa manusia belajar? Pertanyaan ini berkaitan dengan milenium ketiga yang telah berada di depan pinto. Era ini ditandai oleh berbagai perubahan cepat yang terjadi dan sering tidak diantisipasi sebelumnya. Era global menjadikan kita terekspos oleh berbagai kejadian dan tuntutan kondisi yang dipersyaratkan di masa yang akan datang. Secara arif perlu ada refleksi terhadap cara kita melengkapi diri dalam memenuhi tuntutan tersebut. Berbagai perubahan tersebut dikomuni melalui informasi dengan berbagai media, seperti komputer data base dan jaringan informasi canggih yang beraneka ragam. Semakin lama semakin canggih informasi yang harus disampaikan ke tangan pemakainya. Bila kita tidak mau terpelanting dalam era global tersebut, maka perlengkapan manusia hares disertai upaya belajar. Sementara itu, belajar merupakan kebutuhan hidup yang "self-generating" yang mengupayakan dirinya sendiri, karena sejak lahir manusia memiliki dorongan melangsungkan hidup, menuju tujuan tertentu, sadar atau tidak sadar (Adler: Leitlinie = garis hidup). Hal tersebut bukan saja karena ikhtiar untuk melangsungkan hidup bersumber dari dirinya, ibarat ada self-starter dalam dirinya, melainkan juga karena sebagai makhluk sosial ia harus mempertahankan hidup. Demikian dua dorongan esensial dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk tumbuh kembang dan dorongan untuk mempertahankan diri menjelaskan alasan manusia itu belajar. Jadi, manusia belajar terus menerus untuk mampu mencapai kemandirian dan sekaligus mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan.
II. BELAJAR: KONSEP DAN TEORINYA
Berbagai teori tentang belajar terkait dengan penekanan terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh potensi yang dibawa sejak lahir. Potensi itu biasanya merupakan kemungkinan kemampuan umum. seseorang secara genetis telah lahir dengan suatu organ yang disebut kemampuan umum (intelegensi) yang bersumber dari otak. Apabila struktur otak telah ditentukan secara biologis, berfungsinya otak tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C., 1997). Jadi, apabila lingkungan berpengaruh positif bagi dirinya, kemungkinan besar potensi tersebut berkembang mencapai realisasi optimal.
Otak yang dibawa sejak lahir tersebut terdiri atas dua belahan otak, kiri dan kanan (left hemisphere and right hemisphere), yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Kedua belahan otak tersebut mempunyai fungsi, tugas dan respon yang berbeda, dan seharusnya tumbuh dalam keseimbangan (Semiawan, C., 1997). Dalam upaya manusia belajar, belahan otak kanan berfungsi menangkap keseluruhan yang bermakna, kreatif dan imajinatif, sedangkan belahan otak kiri berfungsi untuk mengamati hal-hal yang logis, linier, dan teratur. Kedua belahan otak itu dalam pembelajaran sebaiknya berfungsi dalam keseimbangan. Jadi, konsep belajar mengandung implikasi memfungsikan aspek nalar, logis maupun kreatif (baca pula definisi belajar dalam pengertian belajar menurut para ahli). Berikut ini ada beberapa aliran yang berpengaruh di dunia ilmu dalam mengartikan belajar.
Belajar menurut Visi Behaviorisme
Behaviorisme adalah aliran psikologi yang percaya bahwa manusia terutama belajar karena pengaruh lingkungan. Belajar menurut teori behaviorisme yang agak radikal adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanisme. Oleh karena itu, lingkungan yang sistematis, teratur dan terencana dapat memberikan pengaruh (stimulus) yang baik sehingga manusia bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memberikan respon yang sesuai.
Ada dua tokoh terkenal dalam behaviorisme yang memelopori teori ini dan mempunyai perbedaan dalam menjelaskan proses terjadinya belajar. Pertama, adalah Pavlov yang berbicara tentang stimulus yang dipersyaratkan (conditioning reflex) untuk memberikan capons yang diharapkan oleh lingkungan sesuai dengan tuntutan lingkungan (refleks yang dikondisikan) selanjutnya disebut classical Conditioning. Kedua, adalah Skinner yang agak berbeda pendiriannya dengan Pavlov. Skinner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya. Kalau konsekuensinya menyenangkan, maka hal tersebut akan diulanginya lagi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut adalah kekuatan pengulang (reinforcement) untuk berbuat sekali lagi. Teori ini dikenal dengan sebutan operant conditioning. Belajar adalah akibat (konsekuensi, kekuatan pengulang) dari suatu perbuatan yang menghadirkan perbuatan tersebut kembali. Apabila perbuatan tersebut menyenangkan (contohnya seseorang yang lapar dan makan, merasa nikmat apabila kenyang), lain kali akan makan lagi bila lapar (positive reinforcement). Sebaliknya, apabila akibatnya tidak nikmat (contohnya apabila terlalu kenyang), maka tidak akan terdorong untuk dilakukan lagi (negative reinforcement).
Sekelumit tentang Belajar menurut Konstruktivisme
Berbeda dari pendapat behaviorisme adalah konstruktivisme yang merupakan salah Saw pandangan psikologi kognitif Konstruktivisme bertolak dari pendapat bahwa belajar adalah membangun (to construct) pengetahuan itu sendiri (Bootzin, 1996), setelah dipahami, dicernakan dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang (form within).
Dalam perbuatan belajar seperti itu bukan apa (isi) pembelajarannya yang penting, melainkan bagaimana mempergunakan peralatan mental kita untuk menguasai hal-hal yang kita pelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dari dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, pencernaan (digest), dan pemahamannya.
III. KONSEP BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar menurut Klien (Learning Principles and Application, 1993, halaman 2), adalah: Proses eksperiensial (pengalaman) yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen dan yang tidak dapat dijelaskan dengan keadaan sementara kedewasaan, atau tendensi alamiah.
Rumusan Klien yang agak behavioristik meskipun dipengaruhi oleh fenomenologi dan menunjuk pada experiential learning, perlu disela dengan orientasi konstruktivisme yang merupakan bagian dari psikologi belajar yang berorientasi humanistik. Artinya, memang belajar tidak terjadi karena proses kematangan dari dalam saja (innate tendencies, yang merupakan faktor genetis), melainkan juga karena pengalaman yang perolehannya bersifat eksistensial. Penulis menambahkan bahwa psikologi belajar yang berorientasi pada pendekatan humanistik dipengaruhi oleh adanya kebebasan individu yang dilandasi oleh potensi bakat dan minatnya untuk mengembangkan perilaku yang terarah atas tanggung jawab dan pilihannya sendiri.
Aktualisasi diri yang berawal dari tergeraknya potensi dari dalam (from within) adalah permulaan manusia belajar mencapai realisasi diri secara optimal. Untuk itu, ia belajar bagaimana ia harus belajar sepanjang hayat.
IV. BAGAIMANA KITA BELAJAR?
Bagaimana kita belajar, dapat ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro belajar terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Pengaruh negatif dapat datang dari luar dinding sekolah ditambah pula oleh orientasi pembelajaran yang ditandai oleh ciri alienatif karena keterasingan pebelajar dari proses belajar yang sesungguhnya. Hal ini terutama berkaitan dengan proses belajar yang bersifat satu arah, di mana guru mempertanggungjawabkan "body of material" secara sepihak. Si pelajar secara dominan bersifat pasifkarena guru mengalirkan sejumlah ilmu kepadanya, ibarat suatu bejana yang airnya dituangkan dari luar ke dalam dirinya.
Padahal psikologi kontemporer tentang belajar (konstruktivisme) mengisyaratkan bahwa belajar adalah mengonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Jadi, tidak memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala pebelajar, melainkan pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (two-sided experience, Buber, 1970). Ini berarti bahwa penekanan tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa mampu menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama oleh keterlibatan emosi dan kemampuan kreatif.
Coleman di dalam bukunya "Emotional Intelligence" (1995), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, pertama, berasal dari kepala (head) dengan ciri kognitif dan kedua, berasal diri hati sanubari (heart), dengan ciri afektif. Antara kehidupan kognitif dan kehidupan afektif ada hubungan yang erat. Di dalam struktur otak neuron sel otak yang menghubungkan dua kehidupan ini disebut extended amygdala.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan fingkungan yang mencakup ciri-ciri fisik, mental dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur dalam pendekatan sistemnya yang disebut analisis dua jalur two road analysis (front-end, muka belakang), yaitu mencakup tiga komponen, yaitu target group analysis (siapa peserta didik yang kita hadapi), content analysis (apa sasaran program kita), serta context analysis. Artinya, apa relevansi program itu (konteks) dan terkait dengan itu, kompetensi apa yang diperlukan pada ujung program tersebut (end). Untuk menjalani pekerjaan tertentu (job analysis), dapat diadakan dianalisis dari muka (front) ke belakang (end) dan dari belakang ke muka. Konten apa yang perlu diberikan untuk memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan pekerjaan (front) populasi sasaran tertentu. Jadi, analisis populasi sasaran, analisis konteks dan konten adalah kerangka dari analisis sistem tersebut. Dalam hal terakhir berkenaan dengan konten itulah perlu dijaga kurikulum (rancangan belajar) yang menjadi cakupan (area of interest) untuk dijaga koherensinya serta menyaring "banjir" informasi akibat globalisasi. Tentu saja pengembangan kurikulum seperti ini memerlukan sosialisasi, pelatihan (training) dan pengembangan, sehingga meningkatkan efektivitas penyelenggara pendidikan.
V. PENUTUP
Bagaimana kita belajar dapat ditelaah secara mikro dan makro. Secara mikro terkait dengan proses pembelajaran itu sendiri. Proses belajar diupayakan agar siswa mampu menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga keterlibatan emosional yang kreatif. Dengan demikian, proses belajar ini disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan siswa.
Secara makro, pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur yang dalam pendekatan sistemnya mencakup figa komponen, yaitu analisis konten (content analysis) yang dikaitkan dengan kepada siapa (analisis populasi sasaran atau target group anaysis) konten tersebut serta dalam konteks apa (analisis konteks, context analysis) pembelajaran dilakukan.
REFERENSI
- Bootzin, R.R., Bower, G.H., Zajong, R.B., Hall, E. 1986. Psychology Today. An Introduction. New York: Random House.
- Buber. M. 1970. I and Thou, Translation by. Kaufman. New York: Charles Scribnee's Sons.
- Clark, B. 1986. Growing up Gifted. Columbia, USA: CE Merril Publishing Co.
- Coleman, D. 1995. Emotional Intelligence. New York, USA: Bantam Books.
- Klien, S. B. 1996. Principles and Applications, third edition. New York: McGraw-Hill.
- Romizowsky, Aj. 1986. Producing Instructional Systems: New York: Kogan Page.
- Semiawan, C. 1997. PerspektitPendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
- Semiawan, C. 1998. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Semiawan, C. 1998, Pelatihan TOT Evaluasi Kemampuan Mengajar (Persero Pelabuhan Indonesia 11).
Share This :
comment 0 comments
more_vert